Orang Minahasa Masa Lalu
Bila kita menengok kebelakang, banyak informasi menunjukan bahwa bentuk komunitas orang Minahasa pada zaman lampau sebenarnya berbentuk “tribe”. George Foster5 menyebutnya sebagai komunitas yang menjalankan “tribal system” atau kelompok masyarakat pedalaman dimana pokok kehidupan mereka bersandar pada ladang pertanian. Sedangkan unit politik mereka yang tertinggi adalah “Walak”6. Unsur lain yang menonjol dalam walak itu “ bahwa semua orang yang hidup dalam satu walak mempunyai pertautan darah satu sama lain”. Sedangkan di dalam seluruh Walak, hidup suatu keyakinan bahwa anggota Walak manapun juga, mempunyai garis keturunan yang sama.
Diketahui, sejak masa sebelum abad ke 17 di ditengah-tengah kehidupan pranata orang Minahasa, telah terdapat pemimpin yang disebut Walak. Walak ini, dipilih dari antara komunitas orang Minahasa itu sendiri. Sebagai seorang kepala walak dia juga dibenarkan memangku jabatan rangkap sebagai “walian” atau pendeta religi pribumi. Sebab, dalam pandangan orang Minahasa tradisional, bertambahnya fungsi seorang kepala walak secara otomatis akan meningkatkan tanggungjawab dan kekuasaanya dengan lebih mutlak. Tetapi, rangkap jabatan, juga mengharuskan seorang walak meluaskan pengetahuannya untuk menjelaskan kelakuan alam dari tanda-tanda permulaan akan datangnya gempa bumi, banjir, musim kering, dan wabah penyakit, supaya kelompoknya dapat terhindar dari musibah. Keharusan lain yang dia pikul, yakni mencarikan jalan keluar bila ada persoalan yang muncul di wilayah kekuasaannya. Sebagai kepala walak yang merangkap jabatan walian, dia juga terbebani untuk selalu mawas diri terhadap batas-batas kekuasaan yang diberikan kelompoknya pada dirinya.
Begitu pula soal unsur keter (power). Dalam kebudayaan orang Minahasa, unsur keter merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seseorang sederajat bila dia ingin memimpin kelompoknya. Seorang yang memiliki “keter” atau kekuatan selalu diprioritaskan diangkat menjadi ketua. Jadi, unsur “keter-lah” yang memegang peran penting untuk menjadi yang terbaik dari antara warga sederajatnya. sekaligus menjadikannya sebagai “primus inter pares” dalam kelompoknya.
5 Lihat G.M. Foster (eds), Peasant Society, New York: Litlle Brown Co., 1976
6 Lihat A.B. Lapian, Resistance to Western Penetration and Dominance, Historical Developments in Minahasa, North Sulawesi, Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University, Japan, 1989, hal.116
Dalam menjalankan peran (role) seorang kepala walak tidak diperbolehkan menggunakan kekuasaannya dengan cara sewenang-wenang. Terutama dalam soal pembagian tanah. Kesewenang-wenangan dapat menjerumuskan dia terkena sangsi dari “opo” atau semacam sangsi Ilahi. Bentuknya dapat berupa, pencabutan secara transenden keter-nya sampai ia menjadi “weles” atau kehilangan kekuatan akaliah bahkan budinya. Bila seorang ”walak” terkena sangsi ilahi, dia akan dikucilkan oleh rakyatnya dari lingkungan mereka. Walaupun dia masih hidup, dia merasa bagaikan telah mati7. Dalam istilah moderen ia mengalami pembunuhan karakter (“character assassination).
Di Minahasa sampai pada era tahun 1870-an, pengangkatan seorang walak diungkapkan oleh J.G.F. Riedel seperti berikut:
“ Ofschoon onder de alfoeren in de Minahasa ook een ieder geroepen kan worden het bestuur te voeren, is het hun gansch niet onverschilling of zoo iemand de panangaranan (van ngaran) naam, de abakai oembanoea8 “Walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/ngaran untuk menjadi kepala (abakai oem banoea), tetapi cara mereka memilih tidaklah serampangan”
Proses pengangkatan seseorang untuk menjadi pemimpin tidaklah mudah. Sebab, seorang pemimpin yang diangkat oleh para ukung atau walak, dilarang keras menggunakan kekuasaan dengan cara sewenang-wenang. Seorang pemimpin yang melakukan pelanggaran dengan kategori berat, hukuman yang akan ditimpahkan kepadanya tidak hanya terbatas pada pembunuhan karakter (character assassination) tetapi lebih daripada itu.
Dalam hal menjatuhkan hukuman bagi seseorang yang melakukan pelanggaran berat dijelaskan oleh Supit (1986:119-120) seperti berikut:
Pengadilan adalah sarana, dimana para ukung mendemonstrasikan kekuasaan mereka berdasarkan ketentuan-ketentuan adat; suatu sarana untuk menyatakan dan memenuhi rasa keadilan, baik dari para ukung maupun rakyat mereka. Misalnya, pembunuh harus dihukum mati bila yang dibunuh ternyata tidak bersalah. Bila si pembunuh tidak dijumpai, salah seorang anggota keluarga atau budaknya dapat dihukum mati. Terutama pelaksanaan hukuman mati dengan cara mengikat terhukum dalam perahu dan mencincangnya sampai halus.
7 Lihat J.A.T Schwarz, Tontemboansche Teksten, (Vertaling) Vol I, II, III, Leiden, Drukkerrij, E.J. Brill, 1907, hal. 133, 381. 8 J.G.F. Riedel, “De Minahasa in 1825, BKI, 1876. hlm. 39
Tindakan para ukung dan walak tersebut pada tahun 1699 berusaha diredam oleh Residen Manado Kapten Paulus de Brieving. Hal ini dapat dilihat dari hasil musyawarah yang dilaksanakan di Loji Kompeni, Fort Amsterdam, Manado, antara pihak Belanda, para ukung dan walak yang berasal dari beberapa wilayah yang diwakili oleh tiga orang Hoofd Hukum Mayor (Kepala Hukum Mayor). Mereka adalah; Supit dari Tombariri, Lonto dari Sarongsong dan Paat dari wilayah Tomohon, (Molsbergen, 1928: 89). Hasil musyawarah ini dicantumkan dalam Perjanjian Persekutuan (Bond Genootschap) 10 September 1699, dimana isi pasal 3 perjanjiaan itu dinyatakan seperti berikut:
“…ketiga ukung tu’a kepala dan semua ukung atas nama diri sendiri dan anak temurunnya, untuk selama-lamanya dengan sukarela membuang dan menghentikan kebiasaan men-tok-tok atau mencincang orang-orang yang tidak bersalah, baik budak maupun rakyat biasa, sebagai pengganti seseorang yang benar-benar telah membunuh atau seseorang penjahat besar, dan menyatakan mempunyai suatu perasaan keji dan jijik mengenai hal ini, dan karena itu merekapun berjanji dan menyetujui, bahwa mereka dan anak keturunan mereka akan mengusahakan agar tidak seorang pun dalam wilayah mereka, dengan alasan apapun, akan dihukum mati atau dicincang, tetapi mereka sepakat akan menyerahkan setiap pembunuh atau penjahat yang akan dihukum mati ke dalam tangan Kompeni, yang akan menentukan hukuman sesuai beratnya kejahatan yang dituduhkan, dengan ketentuan bahwa, baik sekarang maupun sesudahnya, barang siapa mengabaikan atau menentang ketentuan-ketentuan ini, akan mendapat hukuman dari Kompeni, sama seperti mereka yang melanggar persahabatan yang mereka telah setujui"
Diketahui, sejak masa sebelum abad ke 17 di ditengah-tengah kehidupan pranata orang Minahasa, telah terdapat pemimpin yang disebut Walak. Walak ini, dipilih dari antara komunitas orang Minahasa itu sendiri. Sebagai seorang kepala walak dia juga dibenarkan memangku jabatan rangkap sebagai “walian” atau pendeta religi pribumi. Sebab, dalam pandangan orang Minahasa tradisional, bertambahnya fungsi seorang kepala walak secara otomatis akan meningkatkan tanggungjawab dan kekuasaanya dengan lebih mutlak. Tetapi, rangkap jabatan, juga mengharuskan seorang walak meluaskan pengetahuannya untuk menjelaskan kelakuan alam dari tanda-tanda permulaan akan datangnya gempa bumi, banjir, musim kering, dan wabah penyakit, supaya kelompoknya dapat terhindar dari musibah. Keharusan lain yang dia pikul, yakni mencarikan jalan keluar bila ada persoalan yang muncul di wilayah kekuasaannya. Sebagai kepala walak yang merangkap jabatan walian, dia juga terbebani untuk selalu mawas diri terhadap batas-batas kekuasaan yang diberikan kelompoknya pada dirinya.
Begitu pula soal unsur keter (power). Dalam kebudayaan orang Minahasa, unsur keter merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seseorang sederajat bila dia ingin memimpin kelompoknya. Seorang yang memiliki “keter” atau kekuatan selalu diprioritaskan diangkat menjadi ketua. Jadi, unsur “keter-lah” yang memegang peran penting untuk menjadi yang terbaik dari antara warga sederajatnya. sekaligus menjadikannya sebagai “primus inter pares” dalam kelompoknya.
5 Lihat G.M. Foster (eds), Peasant Society, New York: Litlle Brown Co., 1976
6 Lihat A.B. Lapian, Resistance to Western Penetration and Dominance, Historical Developments in Minahasa, North Sulawesi, Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University, Japan, 1989, hal.116
Dalam menjalankan peran (role) seorang kepala walak tidak diperbolehkan menggunakan kekuasaannya dengan cara sewenang-wenang. Terutama dalam soal pembagian tanah. Kesewenang-wenangan dapat menjerumuskan dia terkena sangsi dari “opo” atau semacam sangsi Ilahi. Bentuknya dapat berupa, pencabutan secara transenden keter-nya sampai ia menjadi “weles” atau kehilangan kekuatan akaliah bahkan budinya. Bila seorang ”walak” terkena sangsi ilahi, dia akan dikucilkan oleh rakyatnya dari lingkungan mereka. Walaupun dia masih hidup, dia merasa bagaikan telah mati7. Dalam istilah moderen ia mengalami pembunuhan karakter (“character assassination).
Di Minahasa sampai pada era tahun 1870-an, pengangkatan seorang walak diungkapkan oleh J.G.F. Riedel seperti berikut:
“ Ofschoon onder de alfoeren in de Minahasa ook een ieder geroepen kan worden het bestuur te voeren, is het hun gansch niet onverschilling of zoo iemand de panangaranan (van ngaran) naam, de abakai oembanoea8 “Walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/ngaran untuk menjadi kepala (abakai oem banoea), tetapi cara mereka memilih tidaklah serampangan”
Proses pengangkatan seseorang untuk menjadi pemimpin tidaklah mudah. Sebab, seorang pemimpin yang diangkat oleh para ukung atau walak, dilarang keras menggunakan kekuasaan dengan cara sewenang-wenang. Seorang pemimpin yang melakukan pelanggaran dengan kategori berat, hukuman yang akan ditimpahkan kepadanya tidak hanya terbatas pada pembunuhan karakter (character assassination) tetapi lebih daripada itu.
Dalam hal menjatuhkan hukuman bagi seseorang yang melakukan pelanggaran berat dijelaskan oleh Supit (1986:119-120) seperti berikut:
Pengadilan adalah sarana, dimana para ukung mendemonstrasikan kekuasaan mereka berdasarkan ketentuan-ketentuan adat; suatu sarana untuk menyatakan dan memenuhi rasa keadilan, baik dari para ukung maupun rakyat mereka. Misalnya, pembunuh harus dihukum mati bila yang dibunuh ternyata tidak bersalah. Bila si pembunuh tidak dijumpai, salah seorang anggota keluarga atau budaknya dapat dihukum mati. Terutama pelaksanaan hukuman mati dengan cara mengikat terhukum dalam perahu dan mencincangnya sampai halus.
7 Lihat J.A.T Schwarz, Tontemboansche Teksten, (Vertaling) Vol I, II, III, Leiden, Drukkerrij, E.J. Brill, 1907, hal. 133, 381. 8 J.G.F. Riedel, “De Minahasa in 1825, BKI, 1876. hlm. 39
Tindakan para ukung dan walak tersebut pada tahun 1699 berusaha diredam oleh Residen Manado Kapten Paulus de Brieving. Hal ini dapat dilihat dari hasil musyawarah yang dilaksanakan di Loji Kompeni, Fort Amsterdam, Manado, antara pihak Belanda, para ukung dan walak yang berasal dari beberapa wilayah yang diwakili oleh tiga orang Hoofd Hukum Mayor (Kepala Hukum Mayor). Mereka adalah; Supit dari Tombariri, Lonto dari Sarongsong dan Paat dari wilayah Tomohon, (Molsbergen, 1928: 89). Hasil musyawarah ini dicantumkan dalam Perjanjian Persekutuan (Bond Genootschap) 10 September 1699, dimana isi pasal 3 perjanjiaan itu dinyatakan seperti berikut:
“…ketiga ukung tu’a kepala dan semua ukung atas nama diri sendiri dan anak temurunnya, untuk selama-lamanya dengan sukarela membuang dan menghentikan kebiasaan men-tok-tok atau mencincang orang-orang yang tidak bersalah, baik budak maupun rakyat biasa, sebagai pengganti seseorang yang benar-benar telah membunuh atau seseorang penjahat besar, dan menyatakan mempunyai suatu perasaan keji dan jijik mengenai hal ini, dan karena itu merekapun berjanji dan menyetujui, bahwa mereka dan anak keturunan mereka akan mengusahakan agar tidak seorang pun dalam wilayah mereka, dengan alasan apapun, akan dihukum mati atau dicincang, tetapi mereka sepakat akan menyerahkan setiap pembunuh atau penjahat yang akan dihukum mati ke dalam tangan Kompeni, yang akan menentukan hukuman sesuai beratnya kejahatan yang dituduhkan, dengan ketentuan bahwa, baik sekarang maupun sesudahnya, barang siapa mengabaikan atau menentang ketentuan-ketentuan ini, akan mendapat hukuman dari Kompeni, sama seperti mereka yang melanggar persahabatan yang mereka telah setujui"
Komentar
Posting Komentar